Penguatan Kapasitas Perencanaan berbasis Sains untuk Energi Bersih yang Cost-effective di Indonesia

04 December 2020

Pandemi Covid-19 telah membawa dampak penting terhadap aspek kemanusiaan terutama dalam aspek kesehatan, sosial ekonomi, dan termasuk didalamnya, sistem energi di dunia. Pandemi dapat berdampak pada investasi energi dan menunda ekspansi pemanfaatan energi bersih (IEA 2020). Emisi karbon akan berkurang seiring dengan berkurangnya intensitas mobilitas manusia, perdagangan dan aktivitas ekonomi. Namun, jika berkaca pada krisis finansial tahun 2008, kegiatan pemulihan ekonomi dapat menyebabkan eskalasi emisi yang tinggi. Hal tersebut juga menjadi ancaman bagi target ekspansi energi bersih di Indonesia – energi yang berasal dari energi baru terbarukan (EBT) dan penghematan energi dari energi efisiensi (EE). Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk meningkatkan pemanfaatan EBT menjadi sebesar 23% dan menurunkan intensitas energi sebesar 1% per tahun hingga tahun 2025.

Terlepas dari sisi buruk dan dampak negatif dari pandemi, Indonesia masih bisa melakukan ekspansi pemanfaatan energi bersih dengan mendorong kebijakan berbasis sains untuk mendukung pemanfaatan energi bersih yang secara pembiayaan efektif (cost-effective).

Masalah keterjangkauan energi bersih di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai aspek; dari jenis teknologi yang masih tergolong baru, aksesibilitas logistik ke sumber-sumber energi bersih, biaya investasi dan persepsi dari perbankan bahwa investasi energi bersih memiliki resiko yang tinggi. Pertanyaan pertama yang muncul adalah, mengapa Indonesia, sebagai negara yang masih harus berjuang untuk pemerataan pembangunan infrastruktur dan akses energi, serta pembangunan ekonomi yang inklusif, bersamaan dengan tantangan krisis pandemi, harus mendorong investasi energi bersih?

Jawaban dari pertanyaan diatas tentunya beragam. Beberapa dari kita mungkin akan mengatakan bahwa pemanfaatan EBT memberikan manfaat sumber energi mandiri, oleh karena itu EBT dapat mendorong ketahanan energi. Sementara, efisiensi energi dapat menghasilkan penghematan biaya. Meski begitu, sebelum energi bersih dapat memenuhi segala manfaat yang diharapkan, penerapan untuk mendapatkan manfaat energi bersih tersebut memerlukan biaya ekstra.

Pada masa krisis pasca pandemi, mengeluarkan terlalu banyak biaya ekstra tentunya bukan pilhan yang bijaksana. Kita perlu mendukung energi bersih dengan cara-cara yang paling realistis untuk meminimalisir kemungkinan lonjakan biaya yang tinggi. Para pengambil kebijakan perlu beralih kepada perencanaan yang berbasis sains untuk memastikan investasi dan sumber daya yang ada dapat menghasilkan dampak yang lebih besar untuk masyarakat luas.

Guna mencapai itu, para pengambil kebijakan baik ditingkat nasional dan provinsi perlu meningkatkan kapasitas dalam hal memahami teknologi energi bersih yang secara pembiayaan efektif (cost-effective).

Mengapa penguatan kapasitas menjadi salah satu solusi terbaik untuk meningkatkan keterjangkauan energi bersih? Singkat saja, salah satu tantangan besar di tingkat provinsi, adalah kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas dalam menentukan apa sumber energi yang paling baik yang kegunaan dan keterjangkauan biayanya seimbang.

Potensi EBT di Indonesia sangatlah besar, namun teknologi EBT yang manakah yang paling murah dan berkelanjutan untuk menghasilkan energi listrik dan berpotensi memberi akses penerangan hingga daerah terpencil? Perdebatan mengenai keterjangkauan sumber energi tidak hanya berlaku diantara energi fosil dan EBT namun juga antar sesama alternatif sumber-sumber EBT itu sendiri serta bauran energi antara fosil dan EBT.

Salah satu cara untuk mengetahui dan memilih mana teknologi energi yang secara ekonomi paling efektif dan efisien di setiap daerah adalah dengan menggunakan analisa Marginal Abatement Cost Curve (MACC).

Pada bulan September 2020, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) bekerja sama dengan United Nations Development Programme (UNDP), telah melaksanakan pelatihan MACC secara virtual, dengan menggunakan alat pemodelan energi, LEAP 2020, kepada praktisi energi di berbagai badan pemerintah dan organisasi lainnya (NGO, akademisi, organisasi pembangunan internasional). Pelatihan tersebut merupakan bagian dari Market Tranformation through Design and Implementation of Appropriate Mitigation Actions in the Energy Sector (MTRE3), yakni sebuah proyek kerja sama untuk mendukung kebijakan mitigasi perubahan iklim pada sektor energi dan mobilisasi investasi energi bersih di Indonesia.

Marginal Abatement Cost Curve (MACC) dapat menjadi referensi ilmiah untuk para pengambil kebijakan dalam memilih mana teknologi energi yang terbaik dan paling terjangkau sesuai wilayah masing-masing. Tanpa pemahaman yang cukup mengenai MACC, pengambil kebijakan dapat terjebak dalam pemanfaatan teknologi energi yang terlihat inovatif, berkualitas dan murah, namun sebenarnya menyerap biaya yang lebih tinggi dari yang seharusnya pada jangka waktu kedepan.

Pada masa krisis ini, kita perlu memahami teknologi energi bersih yang ¬cost-effective lebih daripada yang sebelumnya. Bersama dengan KESDM, UNDP berkomitmen untuk terus mendukung para praktisi energi yang dapat membantu pengambil kebijakan di negara ini untuk melakukan intervensi strategis berbasis sains, terutama dalam memilih energi terbaik yang paling cost-effective di provinsi masing-masing.

Mobilisasi investasi energi bersih di Indonesia sebelum pandemi sudah menjadi tantangan besar. Oleh karena itu, mobilisasi investasi energi bersih pasca pandemi akan membutuhkan upaya yang lebih maksimal lagi. Pendekatan berbasis sains dapat membantu kita untuk menyeimbangkan antara target dan kapasitas kita untuk mencapainya. Sekarang adalah saatnya untuk perencanaan pemanfaatan energi yang berbasis sains.

Pemerintah Indonesia dapat membuat kebijakan-kebijakan yang realistis dengan memanfaatkan teknologi energi bersih yang paling ¬cost-effective sebagai solusi dari potensi lonjakan emisi karbon di Indonesia pasca pandemi. Untuk itu, apakah kita sudah siap membangun kembali dengan lebih baik dan lebih bersih?